h
Pemerintah telah menetapkan total anggaran sebesar Rp 335 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) di tahun 2026. Program ini menjadi salah satu prioritas nasional yang bertujuan meningkatkan kualitas gizi masyarakat, terutama anak-anak sekolah, ibu hamil, dan balita. Namun menariknya, sumber dana MBG kini tidak lagi hanya mengandalkan anggaran pendidikan, melainkan diperluas ke beberapa pos lain demi efisiensi dan keberlanjutan program.
Dari total Rp 335 triliun tersebut, sekitar Rp 223,6 triliun tetap diambil dari anggaran pendidikan karena menyasar siswa-siswi di seluruh Indonesia. Kemudian, sebesar Rp 24,7 triliun berasal dari anggaran kesehatan yang dialokasikan untuk pemenuhan gizi ibu hamil, menyusui, dan balita. Selain itu, Rp 19,7 triliun diambil dari fungsi ekonomi sebagai upaya mendukung produktivitas melalui penyediaan bahan pangan lokal. Sisanya, sebesar Rp 67 triliun, masuk ke dalam anggaran cadangan nasional sebagai dana antisipasi pelaksanaan MBG yang bersifat darurat atau tidak terduga.
Program ini diperkirakan akan menjangkau sekitar 82,9 juta penerima manfaat, dengan mayoritas terdiri dari pelajar, ibu hamil, dan balita di seluruh pelosok negeri. Melalui program ini, pemerintah tidak hanya ingin memastikan masyarakat mendapatkan asupan gizi yang layak, tetapi juga mendukung roda perekonomian lokal. Ribuan UMKM penyedia makanan, petani lokal, serta pengelola dapur komunitas diperkirakan akan ikut terlibat dalam rantai distribusi MBG.
Pemerintah mengalokasikan Rp 67 triliun sebagai dana cadangan untuk menjamin program ini tetap berjalan lancar meskipun terjadi kendala di lapangan. Cadangan ini dapat digunakan jika terjadi inflasi bahan pokok, keterlambatan distribusi logistik, atau lonjakan harga pangan. Namun, muncul juga pertanyaan: apakah dana sebesar ini sebaiknya langsung dialokasikan ke lapangan agar manfaatnya segera terasa? Diskusi ini menjadi penting agar transparansi dan efektivitas penggunaan anggaran tetap terjaga.
Sebagian pengamat menilai pergeseran porsi anggaran dari sektor pendidikan harus diawasi dengan ketat. Mereka khawatir, jika dana pendidikan terlalu banyak disedot untuk MBG, kualitas pengajaran, fasilitas sekolah, dan kesejahteraan guru bisa terganggu. Oleh karena itu, kebijakan ini harus dibarengi dengan strategi agar pendidikan tetap menjadi sektor yang kuat, bukan hanya sebagai sumber dana tambahan.
Program MBG juga memiliki dampak lanjutan yang besar terhadap sektor ekonomi. Dengan melibatkan petani, peternak, dan pelaku UMKM, MBG bisa menjadi stimulus ekonomi mikro di banyak daerah. Bahkan, daerah terpencil yang sebelumnya sulit dijangkau bisa mendapat manfaat langsung jika program ini dijalankan secara konsisten dan merata.
Langkah pemerintah membagi sumber pendanaan MBG ke berbagai sektor bisa dianggap sebagai strategi bijak untuk menyeimbangkan beban fiskal. Namun, pengawasan dan pelaksanaan di lapangan menjadi kunci. Diperlukan transparansi, efektivitas pengelolaan dana, serta evaluasi rutin agar program ini benar-benar mencapai tujuan utamanya: meningkatkan gizi, mencerdaskan bangsa, dan menggerakkan ekonomi secara berkelanjutan.